Tuesday, October 2, 2007

Masalah Dalam Pernikahan

Meskipun kita sudah menyatukan hati dengan suami atau istri, tidak
  berarti dalam berkomunikasi pun kita bisa selalu klop. Oleh sebab
  itulah, kita harus selalu belajar bagaimana kita bisa menciptakan
  komunikasi yang baik dengan pasangan kita. Ringkasan tanya-jawab
  dengan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D.
  berikut ini kiranya bisa menjawab pertanyaan kita di atas. Selamat
  menyimak.

------
  T : Masalah komunikasi dalam pernikahan menjadi suatu masalah yang
      sering kali timbul. Sebenarnya, seberapa penting komunikasi itu
      di dalam hubungan pernikahan?

  J : Sangat penting sekali. Komunikasi adalah denyut pernikahan. Kita
      tahu bahwa dalam pernikahan yang bermasalah, komunikasi menjadi
      bermasalah.
------
  T : Dalam pengertian ini, apakah komunikasi itu hanya apabila kita
      berbicara satu dengan yang lain? Bukankah bertengkar pun bisa
      disebut komunikasi?

  J : Komunikasi terbagi dalam dua jenis. Pertama, komunikasi verbal,
      yakni kata-kata yang kita ucapkan. Yang kedua, komunikasi
      non-verbal
, yaitu bukan melalui kata-kata yang kita ucapkan,
      melainkan melalui bahasa tubuh. Komunikasi non-verbal, misalnya,
      kita menunjukkan mimik muka tidak suka sewaktu istri kita
      mengutarakan pendapatnya. Sewaktu kita menunjukkan mimik wajah
      yang berubah itu, ia sudah mendapatkan jawabannya, misalnya,
      kita tidak suka dengan pendapatnya, namun yang keluar dari mulut
      kita adalah: "Ya silakan kalau kamu mau jalani." Mungkin kita
      berpikir dengan berkata seperti itu kita sudah berusaha mencapai
      titik netral. Kita tidak menghalangi istri kita, juga tidak
      mendorong, kita hanya berkata "silakan". Tetapi setelah kita
      berkata "silakan", yang terjadi adalah reaksi keras dari istri
      kita dan ia berkata, "Mengapa kamu tidak suka kalau saya hendak
      melakukan ini dan itu
?" Kita mungkin menjawab: "Saya tidak
      bilang tidak suka, saya bilang 'silakan'
." Yang bisa saja
      langsung direspons istri kita, "Tapi saya tahu kalau kamu tidak
      suka.
" Yang  terjadi adalah istri membaca bahasa tubuh kita.
      Bahasa tubuh kita sudah mengomunikasikan ketidaksetujuan pada
      pendapatnya itu, meskipun yang muncul dari mulut kita akhirnya
      adalah "silakan". Hal ini cukup memicu terjadinya pertengkaran.
------
  T : Sepertinya bahasa non-verbal lebih besar pengaruhnya; lebih
      kuat memberi makna di dalam komunikasi?

  J : Memang demikian, sebetulnya bahasa non-verbal jauh lebih
      berpengaruh, lebih mempunyai dampak dibandingkan bahasa verbal.
      Kita menafsir makna dari apa yang dikatakan oleh orang tidak
      berdasarkan ucapannya, tetapi berdasarkan bahasa tubuhnya.
      Bahasa tubuh bisa berupa sikap kita secara langsung, misalnya
      tidak melihat/menoleh atau kita mengerjakan tugas yang lain
      sewaktu suami sedang berbicara. Itulah yang biasanya menjadi
      pertengkaran di rumah kita.
------
  T : Tetapi bisa saja orang itu salah membaca bahasa tubuh
      partnernya?

  J : Betul, kadang-kadang memang terjadi kesalahan menafsir bahasa
      tubuh. Tapi yang lebih sering terjadi sebetulnya bahasa tubuh
      dan bahasa ucapan tidak sama, tidak klop, seperti contoh di
      atas. Kita melihat dari contoh tadi, si istri mendasari
      kesimpulannya bukan atas bahasa ucapan, melainkan atas bahasa
      tubuh. Jadi memang, yang sering kali menjadi masalah ialah kalau
      bahasa ucapan tidak sinkron dengan bahasa tubuh dan kalau tidak
      sinkron, sering kali kita mendasari kesimpulan kita atas bahasa
      tubuh, bahasa ucapan kita kesampingkan.
------
  T : Bagaimana kalau ada yang lebih pandai lagi di dalam mengemukakan
      pendapatnya sehingga kelihatannya sinkron antara kata-kata dan
      bahasa tubuhnya, tapi sebenarnya dalam lubuk hatinya ada faktor
      yang bertentangan?

  J : Ini salah satu masalah dalam komunikasi. Ada orang yang bisa
      menyatakan setuju dan bahasa tubuhnya juga menunjukkan oke,
      setuju. Masalahnya, ia termasuk orang yang tidak bereaksi
      dengan cepat, apalagi terhadap ketidaksetujuan. Ia perlu waktu
      lebih lama untuk kembali memikirkan apa yang telah ia dengarkan
      tadi. Hal ini juga sering terjadi: sinkron, tapi kesinkronannya
      tidak merefleksikan isi hati.
------
  T : Kalau begitu, bagaimana komunikasi yang baik dan benar itu?

  J : Ada satu istilah yang ditemukan oleh para pakar komunikasi,
      yaitu berkomunikasi secara asertif. Bahasa Inggrisnya
      "assertive" yang muncul dengan arti kata "to assert", artinya
      menyatakan pendapat. Jadi, asertif berarti mengutarakan isi hati
      dengan tepat dan tidak agresif, kira-kira itu definisi umumnya.

      Kira-kira ada lima hal tentang komunikasi asertif, yang pertama
      adalah orang yang mengutarakan perasaannya. Dalam contoh-contoh
      yang telah kita bahas, kita sudah melihat bahwa orang atau
      pasangan kita menafsir tindakan, perbuatan, dan bahasa tubuh
      kita, baru menyimpulkan artinya. Jadi, kata-kata yang kita
      ucapkan itu dinomorduakan. Apa yang ditafsir sewaktu bahasa
      tubuh itu yang ditangkap? Ternyata perasaan. Dengan kata lain,
      perasaan memegang peranan yang besar sekali dalam komunikasi.
      Lawan bicara kita akan ingin tahu perasaan kita saat kita
      mengutarakan pandangan atau pendapat kita. Kalau suami kita
      melihat kita memang sudah punya perasaan tidak suka dengan yang
      ia tuturkan, itu akan cenderung mewarnai komunikasinya. Jadi,
      orang yang berkomunikasi dengan asertif, pertama-tama harus
      jelas dulu dengan perasaan hatinya karena itulah yang ia
      komunikasikan kepada pasangannya.
------
  T : Tapi tidak semua orang bisa menerima keterusterangan kita. Kalau
      mengutarakan kemarahan atau kejengkelan kita apa adanya, belum
      tentu pasangan bisa menerima.

  J : Ini perlu dilatih sebab kita memang tidak dikondisikan untuk
      mengutarakan (perasaan pada) pasangan kita dengan jelas. Kita
      menjadi orang yang sering kali bingung dengan perasaan kita.
      Kalau kita saja bingung dengan perasaan kita, apalagi orang
      lain. Contoh klasik yang sering kali terjadi, misalnya, seorang
      istri menunggu suaminya yang berjanji pulang pukul 18.00, tapi
      ternyata baru pulang pukul 21.00 dan tidak menelepon dulu.
      Begitu pulang, apa yang akan terlontar dari mulut si istri?
      Kemarahan. Sebetulnya, dalam waktu tiga jam sembari menantikan
      si suami itu. Ia cemas, takut kalau-kalau suaminya mengalami
      kecelakaan. Tapi begitu suaminya pulang yang muncul adalah
      perasaan marah. Yang terjadi di sini kadang-kadang kita enggan
      mengatakan "Saya takut kehilangan kamu"; lebih nyaman bila
      langsung memaki-maki pasangan kita. Sekali lagi inilah yang akan
      menjadikan komunikasi kita bermasalah -- kita tidak jelas dengan
      perasaan kita. Kita bisa bayangkan betapa mulusnya komunikasi
      itu kalau si istri, misalnya, langsung berkata: "Tiga jam kamu
      tidak memberikan kabar kepada saya, saya menunggu dalam
      ketegangan dan ketakutan, saya khawatir kamu mengalami
      kecelakaan.
" Ketegangan itu pun bisa langsung diselesaikan.
------
  T : Selain perasaan, apa yang penting di dalam komunikasi?

  J : Menyampaikan permintaan atau harapan kita. Hindarilah peluang
      bagi pasangan kita untuk mereka-reka maksud kita. Misalnya,
      kalau kita mengharapkan pasangan kita berubah dalam hal
      tertentu, sampaikanlah dengan jelas, jangan bicara
      berputar-putar
. Kalau kita memang tidak mau mengkritiknya secara
      kasar, tapi tidak tahu bagaimana memilih kata-katanya, kita bisa
      berkata, "Mungkin yang saya sampaikan ini tidak tepat karena
      saya tidak tahu memilih kata-kata yang pas, jadi maaf kalau
      kata-kata saya terlampau menyakiti hati kamu
." Jelaskan tujuan
      kita
. Sering kali masalah dalam komunikasi timbul karena
      pasangan kita harus mereka-reka maksud kita. Padahal
      maksud-maksud yang ditangkap itu belum tentu benar dan orang
      akan bereaksi sewaktu membaca maksud-maksud tersebut.
------
  T : Adakah unsur lain dalam berkomunikasi?

  J : Unsur lain adalah membagikan pengamatan kita. Waktu kita
      berbicara, apalagi dalam hubungan suami-istri, jangan menuduh
      orang dengan cepat dan hindarkan penggunaan kata-kata "kamu".
      Sebaiknya katakan, "Saya merasa kecewa karena ...." Cobalah
      memaparkan peristiwa dan faktanya secara objektif; kesampingkan
      kesimpulan dan jangan tergesa-gesa menyimpulkan tindakan orang.
------
  T : Kadang-kadang di dalam komunikasi itu kita melihat bahwa
      pasangan kita meragukan apa yang kita katakan. Apakah bisa kita
      balik bertanya, "Kamu mengerti yang saya katakan?"

  J : Itu saran yang baik sekali. Ini membawa kita kepada butir
      berikutnya dalam komunikasi dengan asertif, yaitu silakan atau
      bersedialah mengecek ulang pengamatan kita. Sebab yang kita
      katakan belum tentu memang dilakukan dengan sengaja oleh
      pasangan kita dan maksudnya pun mungkin sekali berbeda dari yang
      kita sudah duga. Jadi bersedialah mengecek ulang: benar atau
      tidak yang kita katakan, yang kita amati, dan yang kita lihat.
      Biarkan pasangan kita memberikan masukan.
-----
  T : Bagaimana kita berusaha sebaik mungkin menguasai diri, baik di
      dalam kata-kata maupun di dalam bahasa tubuh, waktu kita
      bertengkar?

  J : Salah satu prinsipnya membawa kita kepada butir terakhir.
      Meskipun kita telah melakukan keempat butir di atas, tidak
      tertutup kemungkinan kita akan bertengkar. Kalau sampai terjadi,
      jangan gunakan kata-kata yang kasar. Apa yang harus kita lakukan
      setelah pertengkaran? Setelah pertengkaran jangan lupa untuk
      menyampaikan penghargaan
. Mengapa? Orang memang berkata
      pertengkaran adalah bumbu, tapi bumbu yang kebanyakan selalu
      membuat sakit perut. Jadi, pertengkaran yang kebanyakan juga
      akan merusak pernikahan. Meskipun pertengkaran tidak banyak,
      semua orang akan bisa setuju bila satu pertengkaran cukup berat
      untuk kita tanggung, pertengkaran itu seolah-olah mengikis
      kemesraan atau perasaan positif pada pasangan kita. Kalau sering
      terjadi pertengkaran, lama-lama perasaan mesra atau yang positif
      itu akhirnya punah. Jadi, kita perlu memikirkan hal-hal yang
      baik, yang positif, kata-kata yang membangun atau menghargai
      disampaikan
setelah pertengkaran itu reda. Kita perlu menambal
      lubang-lubang yang telah kita ciptakan karena pertengkaran itu.
------
  T : Bagaimana dengan orang yang temperamental, kalau marah
      memaki-maki sesudah itu meminta maaf, tetapi ia lupa bahwa
      makiannya tadi sebenarnya lebih menyakitkan daripada permintaan
      maaf yang ia sampaikan?

  J : Lama-lama memang tidak dihiraukan lagi. Tapi permintaan maaf
      tidaklah identik dengan penghargaan
. Permintaan maaf karena kita
      bersalah adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan dan sebetulnya
      tidak ada nilai tambah. Tapi mengucapkan kata-kata yang
      menghargai itu memunyai nilai positif. Itu adalah tambalan, dan
      memang kalau lubangnya terlalu besar, menambalnya pun lebih
      susah.
------
  T : Dalam hal ini firman Tuhan berbicara apa?

  J : Efesus 4:29, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu,
      tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana
      perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia
."
      Kata-kata yang membangun, bukan kata-kata yang kotor; itulah
      permintaan Tuhan pada kita semua. Mengapa kata-kata yang
      membangun? Karena firman Tuhan berkata bahwa orang yang
      mendengar beroleh kasih karunia. Itulah yang harus kita ingat.
      Kita adalah pemberi kasih karunia Tuhan kepada pasangan kita.
      Jangan sampai pasangan kita tidak menerima kasih karunia, tapi
      (malah menerima) kutukan-kutukan kita
. Gunakan kata-kata
      membangun, hindarkan kata-kata kasar apalagi kotor.

Sumber: e-konsel Oktober 2007

No comments:

Post a Comment