Monday, July 10, 2006

Mengapa Masih Single?


Sering kita yang masih lajang merasa bosan sekaligus sebal saat ditanya, “Mana nih gandengannya?”, “Apa kamu nggak bosan sendirian?”, “Kapan menikah?”, “Jangan terlalu santai, ingat kamu sudah umur berapa, kamu sadar nggak?” Ingin sekali kita berteriak, “So what gitu loh?!!” Mulai dari teman-teman kita, orang tua, saudara, seakan-akan tidak pernah puas “meneror” kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Acara berkumpul dengan keluarga besar atau reuni sekolah yang seharusnya menyenangkan menjadi satu ajang yang kadang membuat kita terombang-ambing, atau bahkan menjadi satu kegiatan yang paling kita hindari.


Kita jadi kesal, sebenarnya ini hidup kita atau hidup mereka? Kalau seandainya kita menikah cepatpun, dan nanti terjadi kekacauan dalam rumah tangga kita, apakah mereka mau bertanggungjawab untuk itu? Selain itu, kita masih punya hal-hal lain yang lebih penting untuk dikejar. Status lajang berarti kebebasan, tanggung jawab kita pun hanya terbatas pada diri sendiri. 


Tapi tidak jarang kita juga berpikir, “Aku nggak jelek-jelek amat, kenapa nggak ada yang tertarik?”, “Apa ada yang salah denganku?”, “Mungkin aku harus menurunkan standarku tentang calon pasangan…”, “Kenapa aku tetap sendirian sementara teman-temanku sudah menikah dan bahkan ada yang sudah punya anak?”, “Single sebenarnya enak juga, tapi kadang aku kesepian…”. Ada juga sebagian yang tidak mau mengakui kalau mereka pernah berpikir seperti itu. Tapi tidak ada yang salah dengan mengakuinya, karena dengan berterus terang, kita dapat mencari penyebab pikiran-pikiran itu dan menemukan jawabannya. Bukan begitu?


Apakah kita ditakdirkan untuk menjadi lajang selamanya?


Budaya dan tradisi yang ada di masyarakat ikut menentukan persepsi kita tentang seperti apa kehidupan yang “utuh” itu. Persepsi ideal yang umum menggambarkan seorang pria dan wanita yang menikah dan membentuk sebuah keluarga. Lantas bagaimana dengan kita yang masih belum hidup “utuh”? Apakah kita memang ditakdirkan untuk tetap single?  


Kadang kita jadi miopi & terlalu berfokus pada diri sendiri. Kita terus bertanya-tanya pada Tuhan tentang keadaan kita. Padahal seluruh kehidupan ini tidak hanya berfokus pada diri kita, ada banyak sisi-sisi kehidupan yang mungkin terluput dari pandangan kita selama ini. Saat anda memutuskan untuk menyambut, mensyukuri dan menikmatinya, anda akan mengetahui sendiri jawabannya selagi anda berjalan.


Kriteria pasangan hidup dan pernikahan


Jujur saja, kita semua pasti memiliki kriteria tentang pasangan ideal yang akan hidup “happily ever after” bersama dengan kita, juga kriteria tentang kehidupan pernikahan yang ideal. Masalahnya, apakah anda yakin akan “kekuasaan” anda untuk “menciptakan” sosok pasangan ideal dan pernikahan ideal itu? Dan bagaimana anda tahu apakah standar dan harapan anda itu memang yang sepantasnya atau terlalu tinggi atau terlalu rendah?
 
Kalau kita membayangkan bahwa suatu saat nanti seseorang akan datang dan mewujudkan semua harapan kita, itu tidak adil. Bagaimanapun juga, pernikahan menyatukan dua manusia, keberhasilan pernikahan pun juga ditentukan dan dibangun oleh anda dan pasangan anda, dengan Tuhan sebagai dasarnya. Jangan hanya menuntut pasangan yang tepat, tetapi jadilah seorang pasangan yang tepat! 


Aku bahagia kok dengan status lajangku!


Penyangkalan terhadap kenyataan bahwa kadang kita merasa kesepian, kadang kita juga ingin punya pasangan, dan lain-lain, sadar atau tidak justru membuat kita membangun tembok, bersikap menutup diri dan menunjukkan bahasa tubuh atau sinyal kalau kita bisa melakukan semuanya sendiri dan tidak membutuhkan seorang pasangan dalam hidup kita.


Walaupun mungkin anda bereaksi seperti ini saat orang lain mempertanyakan status anda karena gerah dengan pertanyaan mereka, bersikap jujurlah, dan andapun akan merasa lebih santai menghadapi mereka. Kalau anda berlagak seperti “lone ranger” yang mampu mengatasi semuanya, bisa jadi sikap anda justru akan membuat orang yang tertarik pada anda jadi mundur teratur.
 
Lalu bagaimana kita harus bersikap? Tentu saja kita tidak mau terlihat terlalu berharap, terlalu agresif, atau terlalu defensif. Semuanya dimulai dari kejujuran anda kepada diri sendiri, karena apa yang terjadi di dalam diri anda, itulah yang akan terlihat dari luar.  


Jadilah diri sendiri dan nikmati hidup anda


Sudah sewajarnya kita memiliki kehidupan yang utuh sebelum seseorang memasuki kehidupan kita. Dan kalaupun kita memang akan melajang seumur hidup, itu bukan berarti kehidupan kita tidak pernah utuh.


Banyak wanita yang telah menggantungkan kebahagiaannya pada seorang pria yang akan datang dalam kehidupan mereka, dan mereka berpikir mereka tidak akan pernah bahagia sebelum pria itu datang. Mereka menunda membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup mereka karena menunggu datangnya sang pangeran. Dan saat yang dinanti tak kunjung tiba, mereka tenggelam dalam pikiran-pikiran dan emosi-emosi yang tidak sehat. Mengapa harus menunggu seseorang atau sesuatu untuk berbahagia?  


Saat kita berhenti bertanya tentang pasangan hidup kepada Tuhan dan mulai bertanya tentang apa tujuan kita diciptakan serta apa yang seharusnya kita lakukan, kita akan melihat dan menemukan bahwa karunia-karunia dan keunikan kita memang punya maksud yang spesifik. Saat itulah kita akan berbahagia. Karena kebahagiaan kita tidak bergantung pada ada atau tidaknya seorang pria atau wanita yang spesial. Jika kita sudah merasakan kepenuhan hidup yang sejati, saat seorang pria atau wanita memasuki kehidupan kita, kita akan tahu apakah dia adalah orang yang tepat untuk bersama dengan kita atau tidak. 


Sedikit tips, kalau anda ditanyai tentang ke’sendiri’an anda lagi, akui saja kalau memang belum ada perkembangan di area itu, tapi ceritakan tentang perkembangan di bidang yang lain, misalnya pekerjaan atau kegiatan baru anda. Dengan ini, anda tidak hanya memunculkan topik baru untuk didiskusikan, tapi juga akan mengurangi sikap defensif anda.


Sumber: www.jawaban.com (fay)

No comments:

Post a Comment