Menulis Sebagai Profesi
oleh
Yon's Revolta
Barangkali, belum banyak orang yang berpikiran untuk menjadikan aktivitas menulis sebagai profesi. Bergelut dengan kata, menghasilkan karya-karya (entah itu tulisan fiksi maupun non fiksi) dan mendapatkan keuntungan finansial darinya-- sebagai imbalan atas kerja yang telah dilakukannya. Mereka mengasilkan tulisan-tulisan yang di publikasikan melalui media massa (koran, majalah, tabloid), media online (internet), maupun media cetak seperti buku, jurnal Ilmiah dll.
Layaknya profesi lain, setiap hari, seorang penulis selalu menulis dan menulis sebagai konsekuensi atas profesinya itu, walaupun di hari-hari tertentu, mereka tidak melakukan aktivitas menulis, tetapi mengantikannya dengan aktivitas membaca atau mengamati lingkungan sekitar (riset) yang tentunya sangat terkait dan mendukung profesinya itu.
Masih sedikitnya orang-orang yang menjalankan profesinya sebagai penulis—tentunya menjadi ladang tersendiri—khususnya bagi generasi muda-- untuk menggarap dan berkiprah didalamnya. Setidaknya, profesi seorang penulis ini bisa menjadi alternatif pilihan kerja seseorang. Apalagi, untuk menjadi seorang penulis yang baik dan produktif, tidak harus memiliki ijasah tertentu dari pendidikan formal di Indonesia (misalnya harus sarjana dll). Orang yang tidak mengeyam pendidikan formal pun berhak menjadi seorang penulis yang baik dan produktif, karena masyarakat sendiri yang akan memberikan penilaian atas karya-karya yang dihasilkannya.
Banyak contoh orang-orang Indonesia yang total menggeluti profesi sebagai seorang penulis. Sebut saja Remy Sylado (Novelis) yang terkenal dengan novel-novelnya seperti “kerudung Merah Kirmizi”, “Co Bau Kan”, “Paris Van Java”, Gola Gong, yang dikenal dengan karyanya “Balada Si Roy”, Ahmad Tohari, dikenal melalui karyanya seperti “Ronggeng Dukuh Paruk”. Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia yang dikenal dengan cerpen dan novel Islaminya dan juga Onno W Purbo yang total menggeluti profesi seorang penulis buku-buku teknologi informasi setelah memilih keluar sebagai dosen ITB Bandung. Itu hanya contoh kecil saja, mereka ternyata bisa hidup layak dan cukup dengan bekerja sebagai seorang penulis. Belum lagi, banyak juga para penulis yang produktif menjadi kolumnis di media-media online, majalah, maupun koran tertentu.
Sebagai gambaran pendapatan finansial. Seorang penulis cerpen yang di muat di salah satu koran lokal, akan mendapatkan honor Rp 50 - Rp 150 ribu, di majalah atau koran nasional Rp 100 - Rp 500 Ribu. Tulisan berupa artikel atau opini, di koran lokal akan mendapat Rp 100 - Rp 300 Ribu, di koran nasional, mendapat Rp 200 - Rp 500 Ribu. Menulis satu novel atau kumpulan cerpan akan mendapat “uang lelah” Rp 3 – 7 juta dengan sistem beli putus. Atau bisa juga dengan sistem royalti sebesar 8-12%. Misalkan harga satu buku Rp 10.000,, taruh saja royaltinya 10 %, berarti 10% x Rp 10.000 = Rp 1.000. Jika buku yang terjual 3000 eksemplar, maka akan mendapat royalti sebesar Rp 1000 x 3.000 = Rp 3.000.000.
Itu gambaran sepintas “gaji” penulis. Ada yang berpendapat, seorang penulis di Indonesia tidak akan bisa hidup layak. Berani menceburkan diri dan serius menekuni dunia tulis menulis berarti siap menjadi “kere” alias Madesu (masa depan suram). Orang boleh-boleh saja berpendapat seperti itu, toh semua pekerjaan tergantung kadar keseriusan. Seorang penulis skenario misalnya, jika sukses, bisa mendapatkan berjuta-juta rupiah ditangan.
Sebagai gambaran tentang suksesnya para penulis, akan saya ceritakan beberapa diantaranya; (Ada dalam “Buku sakti menulis fiksi”)
Asma Nadia : Dalam kurun waktu empat tahun 23 bukunya (novel dan kumpulan cerpen) telah terbit. Salah satu bukunya “Rembulan dimata ibu” mendapat penghargaan IKAPI sebagai buku remaja terbaik. Beberapa motivasi yang senatiasa membuatnya menulis adalah untuk berjuang lewat pena karena banyak terlalu banyak buku-buku yang merusak moral anak muda, motivasi lain--untuk berbicara dan menyampaikan protes pada puluhan ribu orang dan juga sebagai amal jariyah, katanya” Semoga buku-buku yang dihasilkan dengan keikhlasan bisa mengalirkan amal bagi kita setelah mati” begitu kata penulis yang bernama lengkap Asmarani Rosalba.
Hilman “Lupus” Hariwijaya : Hilman, sukses menghasilkan seri Lupus sekitar 30 buku dan jutaan eksemplar buku terjual, katanya “remaja butuh idola”, akhirnya tokoh Lupus pun bisa muncul dalam karya-karya serinya. Di lain kesempatan, Hilman menginginkan, setiap remaja menjadikan aktivitas membaca sebagai sesuatu yang mengasyikkan, bukan Cuma basket, nonton dan sebagainya.
Barbara Cartland : Dia adalah seorang penulis yang bukunya terjual sebanyak satu miliyar buku dalam 36 bahasa. Dia, dikenal sebagai “Queen of the Romance Novel karena novelnya memang banyak bercerita tentang kisah-kisah romantis dan menampilkan kehidupan bangsawan Inggris. Dia dapat menulis novel dalam 7 hari.
JK “Harry Potter” Rowling : Dari menulis, kekayaannya melebihi Ratu Inggris, Elizabeth II. Rowling telah menjual bukunya sebanyak 250 juta eksemplar, terbit di 200 negara dan di terjemahkan dalam 61 bahasa. Itu hanya beberapa contoh saja, Fauzil Adhim juga sukses dengan buku-buku pernikahannya. Jujur Prananto, sukses dengan skenario “Ada Apa dengan Cinta” nya.
Beberapa contoh diatas adalah orang-orang yang sukses di dunia kepenulisan. Dan kita, tentunya mempunyai cara tersendiri untuk menjadi penulis sukses seperti mereka. Bakat dan minat tentang tema tulisan, bentuk tulisan, kita sendiri yang tahu. Tinggal sekarang, bagaimana mengolah potensi yang ada dalam diri kita itu dan bekerja keras jika benar-benar serius untuk menjadi seorang penulis. Ini penting, karena di dunia tulis menulis, tak ada tempat bagi pemalas.
OK, selamat menulis...!
~Berjoeang Dengan Pena~
http://penamuda.
http://penakayu.
Sumber: milis penulislepas
:D thx for sharing
ReplyDelete